Kenali Pelanggan Passive: Jangan Biarkan Memendam Rasa
Hari itu begitu mengejutkan, melihat hasil baby trolley yang bersih banget, kinclong, kembali seperti baru. Padahal suddah beberapa bulan nggak dipakai, berdebu, kotor, karena si kecil sudah mulai jalan. Spontan, respons alami itu saya ceritakan ke pemilik layanan cuci trolley ini. Dia tidak memberi diskon harga atas feedback yang saya lakukan. Tapi dia memberi tambahan promo cuci sepatu free. Langkah cepat sebagai loyalty program.
Pun saya juga menceritakan hasil layanan ini ke rekan di kantor dan saudara, karena hasilnya sangat memuaskan. Hingga keesokan harinya saya kirim lagi baby walker. Layanan antar jemput barangnya keren. Hasilnya bukan hanya membuat barang kembali bersih wangi, tapi juga melakukan perbaikan jika ada yang rusak. Para pekerjanya memang dibekali keahlian dasar yang mumpuni dan menjamin kepuasan pelanggan.
Di lain hari, saya juga merasakan hal yang sama, sama-sama mengejutkan. Namun, bukan hal yang menyenangkan. Yaitu, menghadapi layanan kesehatan yang sangat tidak ramah, tidak berempati dan membuat kami pulang, tak kembali lagi. Respons spontan juga untuk menceritakan kejadian ini ke rekan, kolega dan saudara. Agar kasus serupa tak terulang. Sambil bergumam, ternyata tidak semua yang memilih usaha jasa (services) memiliki kompetensi service excellent.
Banyak sekali catatan, cerita, dan pengalaman terkait dengan layanan yang luar biasa bagus, sehingga kita akan menceritakan atau merekomendasikan hal itu ke orang lain. Namun, ada satu hal yang sering kita merasa nyaman dan aman, saat tidak ada umpan balik dari pelanggan kita.
Dua studi kasus di atas adalah kisah pelanggan aktif (promoters dan detractors). Bagaimana dengan pelanggan passive. Pelanggan ini mungkin puas, namun belum mencapai hal yang luar biasa pada level surprising atau unbelievable. Pelanggan cenderung diam, tidak menceritakan, menganggap layanannya adalah biasa, standar. Bahkan dalam beberapa riset dinyatakan, pelanggan ini cenderung price sensitive. Saat ada harga yang lebih kompetitif atau lebih murah dengan value yang sama, akan cenderung mempertimbangkan untuk pindah.
Pelanggan passive juga ada kecenderungan pergi atau pindah ke produk atau layanan lain saat ada kekurangan pada produk kita dibandingkan mencela (atau menjadi detractor). Hal ini yang patut diwaspadai. Mereka memilih memendam rasa daripada menceritakannya. Positifnya, kemungkinan tidak mengurangi pelanggan baru. Tetapi kecil kemungkinan ada repeat order dari konsumen lama.
Pelanggan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan lebih tentang produk, karena menggunakan lebih dari satu provider layanan, cenderung makin menarik untuk ditangkap responsnya. Khususnya pelanggan promoter dan detractor. Pelanggan ini memiliki kedekatan yang kuat dengan produk kita. Sehingga apabila ada hal kurang, mereka akan cepat dan mudah memberikan umpan balik, sehingga dengan cepat pula kita dapat melakukan perbaikan.
Pelanggan passive harus ditangani dengan baik. Memastikan produk kita menjadi solusi dan layanan yang kita berikan meninggalkan kenangan yang baik. Serta kemampuan melibatkan mereka dalam perjalanan perkembangan produk kita, baik offline maupu melalui media sosial.
Pelanggan bukan hanya berhenti puas atas feature, performance, dan price produk kita. Tetapi, pelanggan terus merekam apakah layanan yang diberikan saat pre-sales, sales hingga post-sales mampu menjadikan kenangan indah di benak mereka, membangun persepsi kualitas yang luar biasa (unbelievable) serta membangun kedekatan kerja sama, yang menjadikan voice of customer adalah sumber sukses perjalanan produk kita, di masa mendatang.
Selain kita harus mempersiapkan produk dan layanan yang sesuai dengan generasi alpha. Generasi yang lahir setelah 2010 dari orang tua milineal. Data enciety Business Consult menyatakan, pada tahun 2020, proprosinya masih 35,35 persen dari total penduduk Indonesia. Yang diprediksi akan mencapai 46,23 persen di tahun 2030. Sebuah generasi dengan ekpektasi yang berbeda. Generasi yang tumbuh pada perkembangan internet dan sosial media yang luar biasa. Mereka jauh lebih aktif, dan tentu bukan kelompok yang suka memendam rasa.
Salam (*).
(Oleh: Unung Istopo/enciety)