Media Cetak: Kenapa Harus Bertransformasi Menjadi Media Digital?

Surat kabar yang pertama kali hadir di Indonesia 270 tahun yang lalu masih berbahasa Belanda dan membahas topik seputar Eropa,  tidak berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Baru sekitar 110 tahun kemudian muncul surat kabar berbahasa Melayu pertama diterbitkan. Bahkan, penggunaan nama “koran” sendiri merupakan serapan dari kata “Courant” dalam bahasa Belanda.

Pada tahun 1828, Javasche Courant terbit di Jakarta untuk pertama kalinya, memuat berita – berita resmi pemerintahan, lelang, dan beberapa kutipan berita dari Eropa. Meskipun dalam peredarannya masih diharuskan melalui ‘proses penyaringan’ oleh pemerintah. Perkembangannya terus berlanjut hingga Bangsa Indonesia kemudian mampu menerbitkan korannya sendiri. Pada masa – masa ini, surat kabar sangat efektif digunakan sebagai alat propaganda dan penyebaran informasi. Berbeda dengan radio yang baru muncul sekitar tahun 1930, koran mampu memberikan berita dengan detail dan terperinci.

Dewasa ini, ketika perkembangan teknologi menjadi sedemikian pesat. Surat kabar menemukan kompetitornya, internet. Ya, internet telah menjelma sebagai perangkat yang mampu menyajikan berita yang bisa di-update setiap saat, bebas (baca: tidak melalui ‘proses penyaringan’ yang dilakukan oleh pemerintah atau golongan), tanpa batas (baca: bisa mengakses ke seluruh dunia), berformat multimedia, dan paperless.

Sebelum mengenal internet. Surat kabar, tabloid, dan majalah memang menjadi rujukan saya untuk memperoleh informasi. Kenapa harus memperoleh informasi? Simpel, supaya ketika berbicara dengan orang lain, saya bisa ‘nyambung’ dengan (apapun) topik yang saat itu sedang dibicarakan. Bagi saya pribadi, yang tumbuh berkembang di masa peralihan media, dari konvensional ke digital, pilihan untuk meninggalkan surat kabar menjadi sebuah keniscayaan. Perubahan gaya membaca dari media cetak ke digital memang sedikit menganggu. Disamping tuntutan untuk belajar Teknologi Informasi, gangguan fisik seperti mata yang cepat lelah dan leher pegal menjadi makanan sehari-hari. Gejala itu muncul mungkin karena pengaruh sinar monitor dan ketidakbebasan kepala untuk menoleh mencari berita (monitor memaksa kepala saya tetap diposisi tertentu selama membaca).

Kenapa meninggalkan surat kabar menjadi sebuah keharusan bagi saya?

Pertama, biaya langganan koran yang jauh lebih mahal. Coba bandingkan, dengan harga yang relatif sama dengan internet, saya bisa mengakses seluruh informasi yang saya butuhkan, diseluruh penjuru dunia. Jujur, tidak semua berita di koran saya baca, karena memang tidak butuh.

Kedua, paperless. Isu lingkungan hidup memang menjadi concern saya sejak kecil, meskipun dalam pelaksanaannya masih banyak kekurangan.

Ketiga, update dan keragaman sumber berita. Di internet, sebuah berita mampu disajikan dengan sudut pandang beragam, mulai dari sudut pandang personal, organisasi dan pemerintahan secara aktual, tidak perlu menunggu keesokan harinya untuk masuk meja redaksi dan percetakan.

Secara umum, saya juga mengawasi kebiasaan mengakses media teman-teman di lingkungan sekitar. Meskipun di kantor berlangganan sekian banyak koran, sangat sedikit diantara mereka yang mempunyai waktu khusus untuk membacanya. Mereka telah beralih ke media sosial, situs berita, dan situs video streaming. Informasi yang mereka akses pun tidak jauh dari membaca berita seputar hobi, info kesehatan, lifestyle, dan menonton video streaming. Politik? Saya rasa mereka tidak terlalu suka.

Untuk generasi yang lahir mendahului saya, peralihan ini mungkin akan sangat terasa. Penggunaan gadget untuk mengakses informasi melalui internet tidaklah mudah. Komputer terlalu kompleks untuk dipelajari oleh orang yang kurang telaten. Buat beliau-beliau, untuk apa capek-capek berkutat dengan komputer kalau tujuannya hanya mencari informasi terbaru? Bukankah surat kabar dan televisi telah mampu menjawab kebutuhan? Meskipun toh sekarang smartphone telah marak dan semakin memudahkan seseorang dalam berselancar di dunia maya, tetap saja ada kendala. Ukuran gadget yang kecil dan terlalu banyak tombol seringkali membuat kesulitan. Bisa sekedar telepon atau sms saja sudah menjadi sebuah kemajuan yang luar biasa bagi beliau-beliau.

Pada akhirnya, surat kabar harus menyesuaikan diri. Berproses meninggalkan print mediauntuk beralih ke digital media.

— Teguh Andoria